HOME ABOUT Me! FRIENDS STUFFS FOLLOW DBOARD NEWER OLDER

Tentang Rindu
Sabtu, 18 Mei 2019 - Permalink - 0 Aisy(s)
Aku masih terpaku diam di depan layar. 
Kali ini, otakku berhenti berpikir dalam sekejap. 
Bingung menyertaiku saat ini. 
Hembusan nafas yang semakin menderu membuatku hanyut dalam ilusi. 
Ilusi yang semakin lama membelenggu.
Ilusi yang tak pernah tepat hadirnya.
Ia datang jika ia tak lagi diinginkan.
Huh!aku mencoba meyakinkan kembali perasaanku.
Rangkaian kata demi kata berhasil ku ciptakan dengan sebuah perasaan.
Bukan sebuah ilusi yang tiba-tiba saja menghadiri.
Ini adalah sebuah pesan akan perasaan yang akan kusampaikan.
ini bukan melalui perkataan lansung yang reaksi ilmiahnya akan membuat tersentuh,
melainkan melalui perantara sebuah tulisan. 
Tulisan yang sejak 4 tahun lalu sampai sekarang kurasakan.
Aku harap kalian bisa mengerti.
_Teruntuk

SuperBestFriend,

Halo, apa kabar?Masih ingat aku kan?ini aku sahabatmu. Aisyah.
Aku percaya kamu masih menganggapku sebagai sahabat, walau mungkin kamu sudah lupa.
Lupa akan semua yang pernah kita lalui bersama.
Gimana sekarang?Sungguh, sampai sekarang aku masih ingat masa itu,
Masa dimana kita saling berbagi cerita.
Masa dimana kita pernah mengumbar satu sama lain orang yang kita suka.
Masa dimana kita bersebelahan ikut ekstrakulikuler komputer.
Masa dimana kita tersenyum saat kita saling bertemu.
Masa dimana kita saling berbagi bekal sebelum kegiatan kepramukaan.
Masa dimana kita ribut di Facebok.
Masa dimana kita saling mengejek.
Masa dimana kita saling mengerti.
Dan semua masa yang tak akan pernah terlupa oleh waktu.
Jujur, aku rindu akan masa-masa itu semua.
Sampai datang saatnya kita harus berpisah.
Perpisahan yan mmbuat kita semakin dewasa.
Umur kita juga semakin bertambah.
Hingga saat ini,
aku semakin bertanya dalam diam
Masih ada?atau sudah tidak ada?
Aku tak tau apa yang harus kulakukan saat ini
Yang kuharapkan sebagai sahabat bukan seperti ini
Yang kuharapkan,
Walau jauh kita masih bertukar cerita
Kita masih bertukar pikiran
Kita masih saling bercanda melalui sebuah sosial media
Kita saling berbagi masalah yang kita alami
Tapi, sampai saat ini
Tak ada tanda-tanda kita bersama,
Melalui jaringan Whatsapp-pun tidak juga,
Kita sudah berpisah ya?
Atau sudah saling terlupa?
Atau sudah saling melupakan?
Jujur, aku tak mau itu semua terjadi begitu saja,
Aku masih ingin bersama kalian,
Tertanda,
Izaz,Rafi, Arka,Ammar,Fasya.



Rindu
Jumat, 17 Mei 2019 - Permalink - 0 Aisy(s)
Aku terpaku. 
Menatap sebuah cahaya yang memberkas melalui jendela kelas,
Saat ini rinduku sudah membumbung. 
Mengalahkan sebuah balon udara yang mulai naik menuju awan biru.
Aku masih ingat senyum mereka.
Aku masih ingat canda dan tawa mereka.
Tatapan rindu ini mulai menghasilkan sebuah air mata.
Aku mencoba menghapusnya.
Menyerbakan sebuah kerinduan yang memenuhi memori dalam fikiran.
Menghantui dalam dunia kebahagiaan.
Rinduku sempat bertanya.
Rindu gak haram kan (?)
Aku mencoba meyakinkan sebuah perasaan rindu.
Tapi,proses kehidupan yang berfase demi fase mengalahkan sebuah keyakinan.
Kita tak akan lagi bersama.
Tujuan yang kita tapak sudah berbeda.
Tak ada lagi proses kita akan bersama.
Kita adalah kita. 
Kita hadir jika ada kemauan aku demi aku.
Aku tak yakin, jika suatu saat proses rindu akan hadir.
Mungkin sudah terlupa. 
Tertutupi oleh dedaunan kering yang mulai melebur menjadi humus.
Tetapi, sampai saat ini aku tak mengerti.
Apakah perasaan rindu ini akan terus muncul?
Padahal jutaan memori ketidakyakinan telah berkumpul menjadi satu.
 
 
 
Sahabat

Kesembilan,

Aku mencoba mencari-cari dimana sandalku. 
Seingatku, sandal selop pinkku ini kuletakan didepan kamarku tepat. 
Aku teriak-teriak memanggil kelas 2 yang sedang berada didepan rayon. 
“Kemana sandal depan rayon?”tanyaku penuh geram. 
Dia menggeleng-gleengkan kepala ketakutan. 
Bisa kubayangkan wajah gengsterku ini. 
Tiba- tiba kamu datang dengan posisi merapikan kerudung putihmu yang mulai tidak rapi. “Ngapain?”tanyamu heran. 
Na-el ku ilang, bantu cari ampe ketemu”. 
“Yaelah, cari aja di bustan itu lo banyak nganggur Bagus-bagus tapi cari yang hiqh quality yakk”. Aku mengangguk turun dengan kaki nyeker menuju ke bustan penuh harap menemukan sandal ber-merk Loufu. 
 Kutemukan beberapa sandal yang telah tertutupi noda-noda pasir. 
Aku memilih satu sandal yang menurutku itu pantas jika dikenakan di kakiku yang mungil ini. 
Aku jingkrak-jingkrak. 
“Eh, udah ayok!”. 
“Ketemu?”kamu bertanya dengan wajah yang penuh antusias. 
Aku mengangguk. 
Niatnya, aku akan melihat papan pengumuman test ujian gelombang 2 club jurnalistik. 
Pengumuman di masjid menyatakan bahwa gelombang 2 jurnalistik telah ditempel di mading depan kantor OPPM. Aku ingat, kamu yang mengajakku. 
Kita melihat bersama setelah acara Pidato selesai. 
Aku melihat kertas itu pertama kalinya. 
Kucari namaku dan namamu. 
Namamu terpampang diurutan paling atas. Sedangkan namaku, nihil. 
Tak ada namaku dikertas itu. 
Aku langsung merengut kesal mengigit ujung jilbab putihku dan amarah kecilku muncul dengan tidak sengaja. 
Sudah kutebak sebelumnya, aku pasti tidak. 
Aku langsung melirikmu dengan tatapan ingin menangis. 
Kamu meringis. “Huwaa! Tebe!”ucapku kesal. 
Kamu menepuk-nepuk punggungku. “Bisa bisa!”. 
Itu kalimat yang sering kamu katakan. 
“Apaan!namaku aja gaada,, kapan coba ana bisa kek gituan!”aku kesal bukan main. 
Aku bisa tebak perasaanmu waktu itu adalah rasa bersalah.
Aku mencoba mengatur napasku dalam-dalam.


Sahabat
Kamis, 16 Mei 2019 - Permalink - 0 Aisy(s)

Kedelapan,

Aku mengambil note-book kecilku. 
Kucoret-coret dengan beberapa qoutes ecek-ecekan. 
Bruk!suara tumpukan buku mengagetkanku seketika itu juga.
Kamu datang dan langsung merebahkan tubuhmu diatas meja. 
Aku kaget bukan kepalang. 
Kutengok wajahnya perlahan. Tertidur. 
Aku meletakan secarik kertas tepat didepan wajahnya. Afwan. Aku takut bukan main.
Selama pelajaran berlangsung....
Aku diam seribu kata maupun bahasa. 
Tak ada obrolan sedikitpun diantara kita. 
Srek, srek, srek. 
Suara pulpen mengalihkan pandanganku. 
Kamu mecoba membuka buku tulis bagian belakang dan mulai menuliskan sesuatu. 
Aku tidak ingat apa yang kamu tulis. 
Intinya, Aku sebagai sahabatmu telah menyakiti hatimu. Aku diam lagi. Hingga pulang. 
Aku berjalan disampingmu dengan muka tertunduk. Takut. 
Diam menjadi status kita hari ini. 
Aku mencoba membujukmu. 
Mungkin, ini bisa sedikit membuat suasana yang panas ini menjadi padam.  
Hey!!”ujarku penuh antusias. 
Kamu tak mengubris sedikitpun. 
“Coba ceritaiin apa yang udah terjadi!”Kamu berkata dengan nada pelan.
Aku mencoba menceritakan semua yang telah terjadi. 
Menurutku, itu alasan yang masuk akal. 
“Aku ga salah kok,,itu salah paham”itu ucapan terakhir yang kuucapkan setelah itu. 
Kamu diam sambil menelaah ceritaku.
Aku menunduk penuh harap agar kamu memaafkanku. 
Kamu mendorong punggungku. 
Dan tertawa. Sungguh, itu konyol.
Aku yakin kamu percaya padaku. 
Dan setelah itu, suasana tak menjadi tegang. 
Aku kembali bercengkrama dan bergurau. 
Itu mungkin, jadi pelajaran penting bagiku dalam dunia persahabatan.
Aku berjanji kesalahan ini tak akan kuulangi kedua kalinya. 

Tapi, tak  tau apa yang akan terjadi selanjutnya.
 
Sahabat

Ketujuh,

Aku berlarian mengejar ustadzah yang siap menerima hafalan dari muridnya.
Tiba-tiba kerudung putih rendaku serasa ada yang mejambak dari belakang.
Aku memutarkan badanku sekitar 180 derajat celcius. 
“Anti bilang apa!”. Aku kaget bukan kepalang. 
Kamu membentakku ditengah jalan dengan nada ketus. 
Aku menggeleng dan langsung memegang tanganmu. 
“Kenapa?bilang apa?Ana ga tau apa-apa.” 
Aku takut, merinding, dadaku berdebar dengan cepat. 
“Alah, ngga usah boong!dasar ember, anti bilang apa ke anak kamarku! ternyata ya selama ini,”Kamu meninggalkanku sambil terisak. 
Aku ingin mengejar tapi aku takut. 
Aku yang tadinya ingin setor hafalan ke ustadzah, mengurungkan niatku. 
Aku langsung duduk menyadar tiang dekat rak buku yang ada di kantor cabang. 
Aku mencoba mengingat kesalahanku yang berhubungan dengan anak kamarnya. 
Aku menyeka airmataku dan langsung berlari mencari anak kamarnya. 
Kutemukan anak kamarnya sedang belajar didepan Student Computer Center. 
Aku langsung membentak “Ana bilang apa?Kapan ana ketemu kalian?”aku membentak mereka dengan nada keras. 
Bisa kubayangkan kembali saat itu, wajah mereka yang bersalah tapi takut untuk mengakui kesalahannnya. Aku geram bukan main. 
“Eh,,anti kan bilang kalau dia punya hukuman jadi jasusah lughoh kan?”jawab salah satu dari mereka. 
“Kapan?dimana?” tanyaku geram sambil mengingat-ingat kejadian yang lalu. 
“Disini!hari Sabtu!”salah satu anak kamar menentang dengan keras.
 Aku memutar memori fikiranku yang cukup kacau dengan perihal-perihal buruk disekitarku.
 “Ingat gak?”tanya mereka meremehkan. 
Aku meninggalkan mereka sambil menangis terisak menuju kamarku. 
Kulihat kamu diseberang melihatku tapi saat kulihat kamu mengalihkan pandanganku.  
Hey!Kamu kenapa? Aku mencoba terus mengingat-ingat. 
Oiya Aku ingat. Aku bertemu mereka di hari Sabtu saat aku ingin pergi ke Student Computer Centre, aku ingat aku mengobrol dengan mereka, tapi seingatku kembali, kamu baru memberi tahuku tentang iqob jasusah saat hari Rabu. 
Kapan aku bertemu mereka lagi?Setelah itu, aku ingat ini mungkin salah paham. 
Mereka mendengarnya, dari orang lain bukan dariku. 
Aku yakin seyakin-yakinnya. 
Jujur, aku orangnya ceplas-ceplos. 
Kadang rahasia dari temenku lain, kubocorkan, tapi aku tidak sadar. 
Tapi saat rahasia dari kamu, aku pegang erat-erat sama seperti aku memegang balon agar tidak lepas dari genggamannya. 
Itu sahabat terbaikku. 
Kalau aku membocorkan berarti aku telah mengkhianati sahabatku. 
Jujur, aku tak ingin ada pertengkaran diantara kita. 
Aku mencoba mengatur napasku setelah tangisan itu jatuh terus dari mataku. 
Mataku sembab. 
Terlihat sekali wajahku setelah menangis. 
Aku berdiri ditengah lalu lalang temanku. Aku disini.
Sampai membuatmu terlena dengan ramahku sendiri. Baiklah,aku pun akan menjelaskan yang sebenarnya.

Sahabat

Keenam,

Hari-hariku seperti Pelangi dengan keindahan warnanya. 
Ada Kamu. 
Aku berlari cepat meninggalkanmu untuk mengambil beberapa tongkat pramuka yang memiliki warna hitam dan kuning. 
Kamu tertawa renyah melihatku. Dasar bocah
Itu yang selalu kamu katakan setiap harinya. 
Aku segera menyusun tongkat yang akan kubuat pionering berkaki tiga. 
Begitu juga denganmu. 
Dengan jemari tangan kita. 
Kita bisa mengikat satu per satu tongkat menjadi suatu bentuk bangunan darurat yang sering disebut dengan pionering. 
“Besok kelas 4 aku mau jadi Staf Jurtnalistik atau Staf Kepramukaan yah?”tanyamu tiba-tiba. 
Aku menatapnya penuh kesungguhan. 
“Kalau jadi Staff Jurnalistik nggak bisa pegang tali pramuka lagi dong, tapi kalau jadi Staff Kepramukaan nggak bisa berkarya lagi dong”ucapmu. 
Aku tertawa. ” Makanya kelebihannya jangan banyak-banyak!”ucapku sambil terus memutar-mutar ikatan. 
“Kita Staff bareng yuk, apapun itu, mau biru-putih, hitam-putih, ungu-putih, merah-abu-abu, hijau-putih, dsb. Kita harus bareng! ”Kamu berkata dengan nada gampang.  
Aku hanya tersenyum. 
Sampai sekarang itu, aku belum tau bakat apa yang ada dalam diriku ini. 
Berbeda denganmu. 
Yang punya banyak kelebihan. 
Sungguh, aku malu untuk bersahabat denganmu. 
Dibanding denganmu, aku tidak ada apa-apanya. 
Tapi kamu selalu bilang.  
Bisa!Itu cukup membuatku selalu bersemangat didalam hari-hariku ini.